Visualisasi Makna: Kode dan Isyarat Gambar dalam Diskursus Filsafat dan Irfan

Ghazinews.com.Maros – Ini adalah sebuah karya seni abstraksi atau ilustrasi simbolik dengan elemen-elemen geometris dan warna yang khas karya HA Sahabuddin (Puang Babu, 2012), salah satu tokoh Jam’iyah Ahluth Thariqah Al Mutabarah Khalwatiyah Samman Turikale Maros.
Berikut interpretasi visual berdasarkan penjelasan beliau.
Bentuk Utama (Tengah):
Di bagian tengah terdapat bentuk segitiga dalam lingkaran, dikelilingi area berbentuk seperti mata atau biji. Ini bisa merepresentasikan “pusat kesadaran”, “penglihatan batin”, atau simbol spiritual seperti mata ketiga.
Lapisan Warna dan Garis
Warna hijau kekuningan membentuk lapisan seperti medan energi atau aura.
Garis-garis berlapis-lapis di sekelilingnya membentuk pola simetris yang melambangkan harmoni atau keseimbangan kosmik.
Empat Lingkaran di Sudut:
Ada empat lingkaran di keempat sudut yang tampaknya identik dan terhubung ke pusat.
Ini bisa menyimbolkan elemen dasar, arah mata angin, atau keseimbangan empat elemen (tanah, air, api, udara).
Gaya Umum:
Gaya gambar ini seperti mandala modern atau diagram metafisik yang bisa ditemukan dalam konteks spiritualitas Timur atau ilmu esoterik.
Atas izinnya, berikut penjelasan umum penulis berdasarkan analisis argumen filsafat dengan pendekatan metafisika, epistemologi, dan simbolisme spiritual:

- Pusat sebagai Simbol Diri atau Kesadaran Tertinggi (Metafisika Diri)
Gambar tersebut menampilkan struktur konsentris dengan sebuah titik pusat yang kuat—segitiga dalam lingkaran. Dalam filsafat metafisika, bentuk ini dapat ditafsirkan sebagai representasi hakikat diri atau “self” dalam pemikiran Plato atau Plotinus.
Segitiga di tengah dapat melambangkan trinitas eksistensial: pikiran, jiwa, dan tubuh.
Lingkaran di sekelilingnya adalah batas kesadaran yang mengelilingi inti diri.
Gagasan ini selaras dengan konsep Neoplatonisme, bahwa segala sesuatu bermuara pada The One—yang Esa—sebagai pusat emanasi realitas.
- Lingkaran Empat Penjuru: Simbol Kosmos atau Keseimbangan Dunia (Ontologi dan Kosmologi)
Empat lingkaran di keempat penjuru membentuk struktur simetris yang seakan mengikat atau menjaga pusat. Dalam kosmologi filsafat Timur dan Barat:
Simbol ini menyiratkan keseimbangan empat elemen dunia (Empedokles): air, api, tanah, udara.
Atau bisa pula dikaitkan dengan arah mata angin dan harmoni alam semesta, sebagaimana dalam filsafat Taoisme (yin-yang dan wu xing).
Secara ontologis, ini menunjukkan bahwa realitas bukan hanya satuan tunggal, melainkan kesatuan yang tercapai dari relasi-relasi harmonis.
- Warna dan Garis sebagai Medan Pengetahuan (Epistemologi Simbolik)
Garis-garis berlapis dan bentuk seperti “mata” dapat ditafsirkan sebagai epistemologi visual:
Pengetahuan tidak datang hanya melalui logika, tetapi juga intuisi, penglihatan batin, dan pengalaman langsung.
Dalam filsafat Timur seperti Vedanta atau sufisme, ini diasosiasikan dengan mata batin atau “bashirah”, yang melihat kebenaran di balik fenomena.
Maka, gambar ini merepresentasikan proses pencapaian kebenaran dari luar ke dalam, dari dunia indrawi menuju kontemplasi batin.
Gambar ini dapat dibaca sebagai peta simbolik eksistensi manusia dan relasi antara makro-kosmos (semesta) dan mikro-kosmos (diri).
Dalam kerangka filsafat, ini adalah representasi visual dari:
“Unity in multiplicity—kesatuan dalam keragaman, pusat dalam pusaran.” (Konsep sentral dalam filsafat Ibn Arabi, Plotinus, dan bahkan Jungian Archetypes)
Penafsiran Gambar Menurut Mulla Shadra
- Wujud sebagai Realitas Bertingkat
Mulla Shadra menekankan bahwa realitas itu adalah “wujud” (eksistensi), bukan bentuk atau substansi. Wujud itu bersifat bertingkat (tasykik al-wujud)—artinya segala yang ada memiliki derajat eksistensial, dari yang paling rendah (materi) sampai yang paling tinggi (Tuhan sebagai Wujud Murni).
Aplikasinya pada gambar:
Titik pusat (segitiga dalam lingkaran) adalah simbol wujud tertinggi, yaitu Tuhan atau al-Haqq.
Lapisan-lapisan di sekelilingnya adalah tingkat-tingkat realitas atau dunia, dari alam materi, jiwa, akal, hingga roh universal.
Garis-garis yang saling terhubung menunjukkan gerakan substansial (harakah jawhariyyah)—yakni perubahan esensial yang membawa makhluk dari potensi menuju aktualisasi spiritual.
- Kesatuan antara Akal, Jiwa, dan Materi
Mulla Shadra menolak dikotomi antara jiwa dan raga; baginya, jiwa berkembang dari materi dan berevolusi ke arah kesempurnaan.
Dalam gambar ini:
Empat lingkaran penjuru mewakili dimensi duniawi atau empiris.
Keselarasan antara pusat dan penjuru mencerminkan kesatuan jiwa-raga dalam evolusi spiritual menuju Tuhan.
Penafsiran Gambar Menurut Ibnu Arabi
- Konsep Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud)
Bagi Ibnu Arabi, Tuhan adalah satu-satunya Wujud sejati, sedangkan segala sesuatu yang lain hanyalah penampakan (tajalli) dari-Nya.
Penafsiran gambar:
Segitiga dalam lingkaran adalah simbol manifestasi Tuhan dalam bentuk tajalli cahaya dalam hati para arif.
Lapisan-lapisan sekitarnya mencerminkan maqamat (tahapan-tahapan spiritual) yang dilalui oleh seorang salik (pejalan spiritual).
- Kosmologi Spiritualitas
Ibnu Arabi memandang semesta sebagai cermin tempat Tuhan menampakkan Diri, dan realitas ini berlapis, mulai dari al-‘alam al-mulk (alam fisik) ke al-‘alam al-malakut (alam ruhani), hingga al-lahut (dimensi Ilahi).
Empat lingkaran di penjuru
bisa dipahami sebagai simbol empat penjuru alam ciptaan, yang semuanya adalah pantulan dari Wujud Ilahi. Garis-garis yang menghubungkan menggambarkan jaringan eksistensi yang tidak lepas dari Tuhan.
- Simbol Mata dan Intuisi
Struktur gambar menyerupai mata, yang dalam ajaran Ibnu Arabi merupakan simbol ‘ayn al-bashirah (mata batin). Ia menulis:
“Segala sesuatu dapat dilihat melalui cermin hati, dan hati itu menjadi cermin Tuhan bila telah dibersihkan.”
Simpulan Sintesisnya adalah, dalam pandangan Mulla Shadra, gambar ini merepresentasikan struktur ontologis eksistensi, dari wujud rendah menuju wujud tinggi. Sedangkan dalam pandangan Ibnu Arabi, gambar ini adalah simbol metaforik dari perjalanan ruhani, dari tajalli cahaya Ilahi hingga pencapaian makrifah sejati melalui wahdat al-wujud.
Maka gambar ini bisa ditafsirkan sebagai “peta spiritual kosmos”—suatu mikrokosmos yang mencerminkan kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu.
Penafsiran Gambar Menurut Imam Khomeini
Imam Khomeini seorang filsuf, arif, dan pemimpin revolusi Islam Iran menjelaskan melalui pendekatan irfan falsafi (tasawuf filosofis) yang ia warisi dari tradisi Mulla Shadra dan Ibnu Arabi.
Berikut adalah penjelasan tafsir gambar berdasarkan pendekatan filsafat dan irfan Imam Khomeini:
- Pusat sebagai Hakikat Insaniyah (al-Haqiqah al-Insaniyyah)
Bagi Imam Khomeini, manusia bukan sekadar makhluk lahiriah, melainkan memiliki hakikat ruhani yang menjadi cermin Tuhan.
Segitiga dalam lingkaran di tengah dapat ditafsirkan sebagai simbol hakikat insan kamil (manusia sempurna) yang menjadi titik pertemuan tiga dimensi: jasad, ruh, dan akal—dan lingkarannya sebagai kesempurnaan eksistensial.
Gambar ini mengingatkan pada posisi qalb (hati) yang menjadi pusat tajalli Ilahi, sebagaimana dalam sabda Qudsi:
“Tidak cukup Aku dalam langit dan bumi-Ku, tetapi cukup Aku dalam hati hamba-Ku yang beriman.”
- Lapisan dan Simetri: Suluk Ruhani dan Kesucian Jiwa
Imam Khomeini menekankan pentingnya tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) sebagai jalan menuju Tuhan. Lapisan-lapisan pada gambar menyerupai perjalanan suluk:
Dari lingkaran luar (alam dunia) ke dalam (alam ruh).
Goresan-goresan berlapis menunjukkan maqamat (tingkatan suluk)—taubat, wara’, zuhud, sabar, tawakal, ridha, hingga fana’.
Gambar menyerupai tata kosmos batin, mencerminkan perjuangan menuju titik kesatuan (tauhid af’ali, sifati, dan dzati).
- Empat Lingkaran Penjuru: Dimensi Wujud dan Keberadaan Sosial
Dalam filsafat dan irfan Imam Khomeini, manusia tidak hanya eksis secara spiritual tapi juga berinteraksi sosial dan kosmik. Empat lingkaran di sudut dapat ditafsirkan sebagai:
Simbol empat alam keberadaan: Mulk (materi), Malakut (ruh), Jabarut (akal), Lahut (Tuhan).
Atau sebagai simbol dimensi sosial-insani: keluarga, masyarakat, umat, dan makhluk lainnya—menandakan bahwa suluk tidak egoistik, tapi berakar dalam relasi sosial yang adil dan spiritual.
- Mata dan Pandangan Ilahiyah (Basirah dan Musyahadah)
Gambar menyerupai mata, dan ini sangat kuat dalam irfan Imam Khomeini. Ia menulis dalam Adabus Salat bahwa shalat adalah “mikraj ruhani” di mana mukmin menatap Tuhannya dengan bashirah.
“Mata” dalam gambar adalah simbol pandangan Ilahiyah.
Seorang arif sejati, kata beliau, melihat Tuhan dalam segala sesuatu, bukan melalui penglihatan fisik, tapi lewat cahaya musyahadah batin.
Gambar ini adalah manifestasi simbolik dari perjalanan ruhani seorang hamba menuju puncak tauhid, di mana hati menjadi pusat tajalli, dan segala penjuru keberadaan mengarah pada wujud-Nya. Dalam pandangan Imam Khomeini, ini bukan hanya struktur metafisik, tapi juga peta perjuangan jiwa dan masyarakat menuju keadilan dan kesucian.
Tafsir Gambar Menurut Murtadha Mutahhari
- Hakikat Manusia dan Dimensi Eksistensial
Menurut Mutahhari, manusia terdiri dari dimensi jasmani dan ruhani, tetapi yang menjadikannya istimewa adalah kapasitas kesempurnaan spiritual dan intelektual. Gambar itu dapat ditafsirkan sebagai:
Pusat (segitiga dalam lingkaran): simbol akal dan fitrah manusia yang tertanam dalam potensi spiritualnya untuk menyadari Tuhan.
Lapisan sekitarnya: tingkatan eksistensial manusia—nafs ammarah (jiwa yang memerintah), nafs lawwamah (jiwa yang mencela), hingga nafs mutma’innah (jiwa yang tenang), sesuai dengan perjalanan batin manusia menuju kesempurnaan.
“Manusia bukan hanya mengetahui, tetapi dapat menjadi ‘pengetahuan itu sendiri’ jika ia merealisasikan potensi fitrinya,” — Murtadha Mutahhari
- Keterpaduan Filsafat dan Irfan
Mutahhari adalah pembela harmonisasi antara akal (falsafah) dan rasa batin (irfan). Gambar itu menyiratkan keteraturan simetris—dimana bentuk geometris dan hubungan antar titik mencerminkan struktur kosmos spiritual dan intelektual.
Garis-garis penghubung antar penjuru menandakan keterhubungan antara rasio, intuisi, pengalaman, dan wahyu.
Dalam kerangka Mutahhari, ini mencerminkan manusia sebagai mikrokosmos, yang cerminannya menjelaskan Tuhan sebagai makrokosmos.
- Dimensi Sosial-Tuhan
Mutahhari menekankan bahwa manusia tidak bisa mencapai kesempurnaan hanya secara individu, melainkan juga melalui keadilan sosial dan interaksi kemanusiaan yang berlandaskan tauhid.
Empat penjuru luar pada gambar dapat ditafsirkan sebagai: akhlak, masyarakat, ibadah, dan ilmu—empat pilar yang harus diarahkan ke pusat, yaitu tauhid.
Artinya, setiap aspek kehidupan manusia harus berporos pada nilai-nilai Ilahiyah.
- Tauhid Sebagai Poros Simetri
Mutahhari dalam Tauhid menjelaskan bahwa seluruh eksistensi memiliki satu pusat hakiki, yaitu Tauhid (keesaan Tuhan). Segala bentuk keharmonisan dalam semesta berasal dari prinsip ini.
Simetri dalam gambar itu adalah visualisasi tauhid dalam kosmos dan dalam diri manusia.
Ia berkata, “Tauhid bukan sekadar doktrin metafisik, tetapi asas kehidupan, ilmu, etika, bahkan revolusi.”
Dalam pemikiran Murtadha Mutahhari, gambar tersebut dapat dipahami sebagai ilustrasi simbolik dari eksistensi manusia yang multidimensional, dengan pusatnya adalah tauhid, dan lapisannya adalah aspek akal, jiwa, sosial, dan moral. Keselarasan antara semua itu adalah syarat untuk mencapai kesempurnaan insani.
Maka, gambar ini mencerminkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang dibekali potensi untuk menempuh perjalanan spiritual dan sosial, dengan arah pulang menuju Allah (inna ila Rabbika raji’un).
Daftar Pustaka
Khomeini, Ruhollah. Adabus Salat (The Disciplines of the Prayer). Translated by Muhammad Legenhausen. Qom: Ansariyan Publications, 2003.
Khomeini, Ruhollah. Forty Hadith: An Exposition of Ethical and Mystical Traditions. Translated by Mahliqa Qara’i & Ali Quli Qara’i. Tehran: The Institute for Compilation and Publication of Imam Khomeini’s Works, 2001.
Khomeini, Ruhollah. Misykat al-Anwar fi Sharh Du’a al-Sabah. Tehran: Markaz-e Chap wa Nashr, 1983.
Nasr, Seyyed Hossein. The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York: HarperOne, 2007.
Chittick, William C. The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press, 1989.
Chittick, William C. The Elixir of the Gnostics. Provo: Brigham Young University Press, 2003.
Sadr al-Din Shirazi (Mulla Shadra). The Philosophy of Illumination. Translated by Henry Corbin and Hossein Nasr. Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978.
Amir Moezzi, Mohammad Ali. The Divine Guide in Early Shi‘ism: The Sources of Esotericism in Islam. Albany: SUNY Press, 1994.
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press, 1989.
Knysh, Alexander. Islamic Mysticism: A Short History. Leiden: Brill Academic Publishers, 2000