Tarekat Sufi dan Kurikulum Cinta: Menyemai Spirit Kebhinekaan dalam Bingkai Spiritualitas

Tim Redaksi
Kamis, 31 Juli 2025 06:51 - 119 View
Syamsir Nadjamuddin (ASN Kemenag Maros)

Ghazinews.com,Maros – Di tengah arus globalisasi dan krisis identitas yang memecah masyarakat, ajaran tarekat sufi menjadi pelita spiritual yang membimbing manusia kembali pada fitrah kasih sayang. Dalam dunia yang kian gaduh oleh fanatisme dan eksklusivisme, tasawuf melalui tarekat menawarkan pendekatan keberagamaan yang halus dan penuh cinta. Ia tidak sekadar menekankan ibadah ritual, tetapi menanamkan kurikulum cinta—sebuah jalan pendidikan batin yang menjadikan cinta sebagai sarana mendekat kepada Tuhan dan mendekap sesama manusia. Melalui cinta ini, tarekat menyemai harmoni di tengah kebhinekaan.

Tarekat, dari kata thariqah (الطريقة), bermakna jalan atau metode menuju realitas Tuhan. Dalam konteks tasawuf, tarekat merupakan disiplin spiritual yang menuntun murid (salik) menuju penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan kedekatan dengan Allah (ma’rifatullah). Tokoh sufi besar, Jalaluddin Rumi, menyatakan, “Agama tanpa cinta tidaklah lengkap. Tuhan adalah keindahan mutlak, dan cinta adalah mata yang memandang keindahan itu.” (Rumi, Mathnawi).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din juga menekankan bahwa cinta kepada Allah akan melahirkan akhlak yang luhur, dan akhlak ini akan memancar dalam interaksi sosial. Ia menulis, “Orang yang mengenal Allah pasti akan mencintai-Nya, dan siapa yang mencintai-Nya akan mencintai makhluk-Nya.”

Apa yang disebut sebagai kurikulum cinta dalam tarekat tidak disusun secara formal seperti silabus akademik, tetapi tumbuh dalam proses laku spiritual yang mendalam dan terstruktur. Pendidikan batin dalam tarekat mencakup dimensi teoritis, praktis, dan pengalaman langsung (dzauq). Kurikulum ini meliputi:

  1. Suluk (سلوك) – Latihan spiritual yang bertujuan menundukkan nafsu dan memperkuat ikatan batin dengan Tuhan.
  2. Mujahadah dan Riyaḍah – Usaha keras menempuh jalan Allah dengan mengendalikan syahwat dan ego.
  3. Khidmat – Pelayanan terhadap mursyid dan masyarakat, sebagai wujud cinta yang membumi.
  4. Adab – Pendidikan akhlak dan etika, bukan hanya terhadap manusia, tapi juga terhadap alam dan makhluk lainnya.
    Syekh Ibnu ‘Arabi menulis, “Hatiku telah mampu menerima berbagai bentuk: ia menjadi padang rumput bagi rusa, biara bagi rahib, kuil bagi berhala, Ka’bah bagi peziarah. Aku mengikuti agama cinta, ke mana pun cinta mengarah, di sanalah agamaku dan imanku berada.” (Ibn Arabi, Tarjumān al-Ashwāq)

Dalam sejarahnya, banyak tarekat memainkan peran penting dalam membangun harmoni sosial dan lintas budaya. Di Indonesia, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Jawa dan Sumatera telah menjadi agen dakwah damai, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Samman dan Tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan mengembangkan laku spiritual yang terbuka terhadap kearifan lokal. Prof. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa “Jaringan ulama tarekat di Nusantara merupakan salah satu kunci terbentuknya Islam yang moderat dan akomodatif terhadap budaya lokal.” (Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, 2004)
Kebhinekaan tidak hanya dijaga lewat teori, tapi dijalani dalam praktik sosial tarekat. Ajaran ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) dijunjung tinggi. Para sufi tak memandang perbedaan sebagai ancaman, tapi sebagai kekayaan ruhani. Sebagaimana dikatakan oleh Maulana Rumi, “Lautan tetap menerima sungai dari segala arah, karena ia tidak membedakan asal airnya. Demikianlah hati yang telah dipenuhi cinta.”

Dalam dunia yang dilanda kekerasan atas nama agama, tarekat menjadi suara hening yang menyuarakan damai. Prof. Karel Steenbrink menilai bahwa tasawuf dan tarekat berperan besar dalam membentuk wajah Islam Nusantara yang ramah dan tidak kaku (Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 1986).
Kurikulum cinta dalam tarekat menyembuhkan luka-luka sosial yang lahir dari perbedaan. Ia menawarkan jalan sunyi yang menyatukan, bukan memecah.
Cinta dalam tarekat bukan konsep abstrak. Ia berwujud dalam keramahan, pelayanan, silaturahmi, pengabdian, dan doa untuk sesama. Karena itu, tarekat bisa menjadi solusi spiritual bagi bangsa yang plural, yang membutuhkan perekat nilai dan penguat etika kebangsaan.

Tarekat sufi dengan kurikulum cintanya merupakan warisan agung peradaban Islam yang tetap relevan di zaman ini. Melalui pendidikan ruhani yang berakar pada mahabbah dan rahmah, tarekat menanamkan benih toleransi, kasih sayang, dan penghormatan atas kebhinekaan. Nilai-nilai ini menjadi sangat penting untuk membangun masyarakat damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Membumikan ajaran tarekat dalam kehidupan sosial adalah bentuk nyata spiritualitas yang berpihak pada kemanusiaan. Di tengah dunia yang mudah terbakar oleh ujaran kebencian dan politik identitas, tarekat hadir membawa pesan: bahwa hanya cinta yang mampu mempersatukan, dan hanya cinta yang menyelamatkan.

Syamsir Nadjamuddin
(ASN Kemenag Maros)

Referensi Akademik dan Tokoh)

  1. Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
  2. Ibn ‘Arabi. Tarjumān al-Ashwāq. Terj. Reynold A. Nicholson. London: Theosophical Publishing, 1911.
  3. Jalaluddin Rumi. Mathnawi Ma’nawi. Ed. Reynold A. Nicholson. Tehran: 2002.
  4. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana, 2004.
  5. Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1986.
  6. Nasaruddin Umar. Tasawuf Modern: Menyelami Arti Kehidupan melalui Dimensi Ilahi. Jakarta: Republika, 2019.
  7. Syamsuddin Arif. Tasawuf dan Peradaban. Jakarta: INSISTS Press, 2018.
  8. Martin van Bruinessen. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1992.
Tags: