Survei Pesanan Makin Nyata Jelang Pilkada di Sulsel, Jangan mudah Percaya.
Ghazinews.com, Bone – Survei pesanan yang ditengarai bertujuan untuk memoles kandidat tertentu agar lebih ‘spartan’ di depan publik semakin marak menjelang hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak, 27 November mendatang.
Bahkan di Sulawesi Selatan, hasil survei yang dikeluarkan sejumlah lembaga riset terhadap tingkat keterpilihan kandidat pada Pilkada Serentak cukup rutin dikeluarkan. Kondisi ini pun ditengarai upaya melemahkan lawan politik. Serta menjadi cara untuk menarik pemodal atau cukong untuk menambah logistik.
Apalagi survei pesanan ini makin nyata setelah dua lembaga riset menunjukkan hasil berbeda elektoral kandidat di Pilgub Jakarta. Bahkan salah satunya telah disanksi karena sengaja memberikan angka pada surveinya yang tidak sesuai fakta di lapangan. Sehingga terbangun stigma di tengah publik bahwa beberapa hasil survei hanya “pesanan” oleh paslon tertentu.
Menurut Pengamat Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Ali Armunanto, stigma ini terbangun akibat tidak adanya koordinasi antara pihak penyelenggara Pilkada dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan lembaga riset pada saat mempublikasikan hasil survei.
Dia mengatakan semestinya KPU mempunyai minimal satu lembaga riset internal yang intens merilis hasil survei agar masyarakat punya referensi utama dalam melihat perkembangan peta politik Pilkada Serentak.
“Itu yang jadi masalah sebenarnya, ketika ada lembaga survei yang terdaftar di KPU kemudian diumumkan oleh KPU, orang akan lebih percaya independensinya dibanding lembaga survei yang tiba-tiba merilis sendiri,” sebutnya belum lama ini.
Publik akan menduga lembaga survei yang tidak terdaftar di KPU terafiliasi paslon, apalagi paslon tersebut dinyatakan punya elektabilitas tertinggi pada survei tersebut. Kadangkala, kata Ali, terdapat hasil survei yang juga hasilnya melenceng jauh dari realitas di lapangan. Hal itulah yang mengundang ketidakpercayaan publik terhadap survei tersebut.
“Saya rasa betul jalan yang ditempuh KPU, semestinya lembaga survei terlegitimasi KPU supaya hasilnya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Kalau sekarang, hasil survei sahut-sahutan, seakan-akan walaupun mirip tapi ada argumen yang membantah survei sebelumnya,” katanya.
Adapun Akademisi FISIP Unhas ini menjabarkan bahwa ada tiga tujuan paslon melakukan pembiayaan terhadap survei atau istilah kasarnya memesan hasil survei. Dimana tujuan pertama, kata dia, untuk merumuskan strategi-strategi politik paslon itu sendiri. Biasanya survei itu merupakan konsumsi internal.
“Kemudian tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan parpol jika sebelum pencalonan, dan ketika jadi calon tujuan selanjutnya adalah mencari sponsor, siapa yang akan mendanai kampanye politiknya,” sebutnya.
Sementara tujuan ketiga, menurut Ali, untuk mempengaruhi opini publik. Sehingga hasil survei yang mendudukkan paslon tertentu di posisi tertinggi akan menggiring publik untuk memilihnya sebab dianggap sudah pasti menang.
“Misalnya sekarang itu yang jadi korban survei kan AMAN di Makassar. Karena surveinya tidak pernah lewat dari 4 persen. Orang jadi berpikir ngapain sih, kenapa nda mundur saja. Tapi kemudian Appi nomor sat uterus, orang akan berpikir memilih dia daripada memilih paslon lain yang sudah tentu kalah. Ini tentu tujuan menggiring opini publik,” terangnya.
Ali Armunanto mengatakan survei pesanan ini tentu juga bertujuan untuk melemahkan semangat lawan politik paslon tertentu. Dimana tim pendukung paslon lain akan berpikir usaha kerasnya selama ini tidak membuahkan hasil.
“Iya karena misalnya selalu ditempatkan di bawah, selain pemilihnya yang melemah, timnya juga akan putus asa. Masa kita kerja terus tapi hasilnya segini-gini saja. Tapi berbeda kalau mereka juga punya survei internal yang berbanding terbalik,” tukasnya.(***)