Simbolisme Tiga Warna Songkolo Pada Pacci Nikah di Kecamatan Lau: Sebuah Representasi Sakralitas dan Keseimbangan Budaya

Tim Redaksi
Sabtu, 03 Mei 2025 10:44 - 95 View
Penulis: Syamsir Nadjamuddin, S. Ag (ASN Kemenag Maros)

Ghazinews.com,Maros -Tradisi pernikahan dalam masyarakat Bugis-Makassar khususnya di Kecamatan Lau, Maros Sulawesi Selatan, sarat makna serta mampu memperlihatkan kekayaan nilai-nilai simbolik yang terwujud dalam setiap prosesi Pacci Nikah.
Salah satu unsur yang dominan adalah kehadiran songkolo—hidangan ketan yang disajikan dalam tiga warna: putih, hitam dan kuning.

Secara singkat penulis mencoba menelaah makna simbolik ketiga warna tersebut dalam perspektif antropologi budaya dan filsafat lokal. Melalui pendekatan kualitatif-deskriptif dan metode etnografis, penelitian ini menemukan bahwa tiga warna pada songkolo merepresentasikan dimensi sakralitas, keseimbangan hidup, dan harmoni kosmik dalam sistem nilai Bugis-Makassar. Simbolisme warna tidak sekadar aspek estetis, melainkan memuat dimensi etis dan spiritual yang diwariskan secara turun-temurun. Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi dalam upaya pelestarian warisan budaya dan penguatan identitas lokal dalam masyarakat modern.

Pernikahan dalam budaya tradisional bukan hanya kontrak sosial antara dua individu, tetapi juga menjadi arena artikulasi nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat. Dalam konteks masyarakat Bugis-Makassar, khususnya di Kecamatan Lau, prosesi Pacci Nikah menjadi wadah ekspresi sakralitas dan kearifan lokal yang sarat makna simbolik. Salah satu simbol yang konsisten hadir dalam prosesi tersebut adalah hidangan songkolo—nasi ketan berwarna putih, kuning dan hitam. Ketiga warna tersebut bukan sekadar variasi tampilan, melainkan representasi nilai dan struktur kosmologis masyarakat lokal.
Telaah ini penting dilakukan mengingat simbolisme warna dalam tradisi pernikahan belum banyak dibahas secara akademik, khususnya dalam ruang lingkup lokal Kecamatan Lau.
Penelitian ini bertujuan menggali makna warna pada songkolo dalam kaitannya dengan nilai-nilai sakralitas dan keseimbangan yang dijunjung tinggi dalam falsafah hidup Bugis-Makassar.

Kajian tentang simbolisme budaya dalam masyarakat tradisional telah dilakukan oleh berbagai peneliti. Clifford Geertz (1973) menyatakan bahwa simbol dalam budaya bukan hanya lambang visual, tetapi mencerminkan sistem makna kolektif yang membentuk realitas sosial masyarakat.
Dalam konteks Bugis-Makassar, Mattulada (1995) dan Abidin (1983) telah menjelaskan bahwa struktur nilai seperti siri’ dan pessé sangat berpengaruh dalam membentuk ekspresi budaya, termasuk dalam prosesi ritual.
Songkolo, sebagai simbol kuliner, tidak bisa dilepaskan dari kerangka berpikir kosmologis masyarakat Bugis . Warna-warna dalam songkolo diyakini merepresentasikan ketiga lapisan tersebut.

Secara sederhana penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografis. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Lau, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Teknik pengumpulan data meliputi observasi partisipatif dalam prosesi Pacci Nikah, wawancara dengan tokoh adat, ibu-ibu penyaji songkolo, dan pemuka agama lokal. Data dianalisis secara interpretatif dengan pendekatan simbolik-hermeneutik.
Berikut Hasil dan Pembahasan:

  1. Warna Putih: Simbol Kesucian dan Awal yang Murni
    Warna putih dalam songkolo mencerminkan niat suci dan ketulusan dari pasangan pengantin dalam memulai kehidupan baru. Wawancara dengan salah satu tokoh adat menyatakan bahwa putih adalah warna permulaan, perlambang fitrah manusia. Dalam Islam, warna putih juga dikaitkan dengan kesucian, sebagaimana pakaian ihram atau kain kafan.
  2. Warna Kuning: Simbol warna kuning dalam tradisi songkolo atau konteks budaya Bugis-Makassar memiliki makna simbolik yang sangat penting. Berikut penjelasannya:
    Warna Kuning sebagai Lambang Keagungan, Kehormatan, dan Harapan. Warna ini sering diasosiasikan dengan unsur spiritualitas tinggi dan legitimasi sosial, terutama dalam konteks adat istiadat dan prosesi sakral.
    Warna kuning sebagai Representasi Kehormatan dan Status Sosial.
    Dalam konteks Pacci Nikah melambangkan kehormatan keluarga mempelai. Kuning kerap digunakan oleh keluarga bangsawan atau yang dihormati karena warna ini identik dengan kemuliaan dan keturunan yang terhormat dalam struktur sosial Bugis-Makassar (ana’ karaeng, pabbicara).
    Warna kuning juga sebagai Simbol Harapan dan Masa Depan yang Cerah Dalam kehidupan rumah tangga, warna kuning memberikan nuansa optimisme. Ia menjadi lambang bahwa pernikahan yang dibangun diharapkan membawa masa depan cerah, kebahagiaan, dan keberkahan bagi pasangan pengantin.
  3. Warna Hitam: Simbol Kedalaman, Kebijaksanaan, dan Stabilitas Hitam, dalam pemahaman lokal, bukan warna negatif, melainkan lambang kematangan dan keteguhan batin.
    Dalam wawancara dengan salah satu ibu penyaji songkolo, Hj Sadaria (82) di lingkungan Bonto Kadatto Kelurahan Maccini Baji menyeebutkan bahwa warna hitam pada ketan melambangkan kedewasaan dan kemampuan menahan diri. Warna ini menandakan kesiapan menghadapi kompleksitas kehidupan rumah tangga.

KM Ust Abd Rahim DM, Imam Lurah Maccini Baji mengatakan bahwa Ketiga warna ini meRepresentasikan Kosmologia dan Filosofia kehidupan. Secara simbolik merepresentasikan struktur kosmologi Bugis-Makassar

Simbolisme tiga warna ini mencerminkan prinsip keseimbangan atau mappasitinaja dalam budaya Bugis, yakni hidup selaras antara akal, rasa, dan ruh. Simbolisme tiga warna songkolo dalam Pacci Nikah di Kecamatan Lau, lanjutnya, menunjukkan bahwa budaya lokal memiliki sistem pengetahuan yang kompleks dan dalam. Warna putih, kuning, dan hitam bukan hanya aspek dekoratif, melainkan representasi nilai-nilai kesucian, semangat, dan kedewasaan yang menjadi fondasi kehidupan pernikahan.

Tulisan ini juga bertujuan menggarisbawahi pentingnya pelestarian simbolisme tradisional sebagai warisan budaya yang sarat makna spiritual dan filosofis.

Daftar Pustaka:

  • Abidin, A. Z. (1983). Siri’ na Pessé: Nilai Budaya Bugis. Ujung Pandang: Balai Budaya.
  • Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
  • Mattulada. (1995). Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press.
  • Rahim, M. (2010). Simbolisme dalam Adat Pernikahan Bugis-Makassar. Makassar: Pustaka Alif.

Tags: