Renungan Rajab Di Tahun Baru; Menakar Nilai, Refleksi Spiritual Dan Transformasi Diri

Tim Redaksi
Selasa, 31 Desember 2024 09:06 - 326 View
Syamsir Najamuddin, S.Ag ,Penghulu Da'i dan Seniman

Falsafah Bugis:
Allah Ta’alaji Wattu
Muhamma’ji Sambayang
Sujjukko Naung
Sipukale Memang Tongko

Ghazinews.com, Maros – Waktu adalah konsep yang universal namun abstrak. Semua orang memilikinya, tetapi tidak ada yang benar-benar bisa memilikinya sepenuhnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia secara sadar atau tidak sadar terus melakukan pertukaran waktu. Pertukaran waktu sebagai upaya untuk memahami bagaimana manusia memaknai, menghargai, dan menggunakan waktu yang dimilikinya.

Setiap tindakan yang kita lakukan merupakan pertukaran waktu. Seorang pekerja menukar delapan jam waktunya dengan upah harian, seorang siswa menukar waktunya dengan pendidikan untuk masa depan yang lebih baik.

Dalam pandangan filosofis, pertukaran waktu adalah refleksi dari nilai dan prioritas seseorang. Apakah kita lebih menghargai waktu sebagai alat untuk mencapai tujuan material atau sebagai ruang untuk refleksi batin dan pertumbuhan pribadi?

Filsuf seperti Seneca dalam On the Shortness of Life menekankan bahwa kehidupan terasa singkat bukan karena waktu yang diberikan kepada kita sedikit, tetapi karena kita sering menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumber daya yang tidak dapat diperbarui, setiap detik yang berlalu tidak akan pernah kembali.

Dengan pemahaman ini, pertukaran waktu menjadi tindakan yang memiliki konsekuensi mendalam. Memilih untuk menghabiskan waktu pada sesuatu berarti menolak kesempatan lain yang mungkin lebih berharga.

Memahami pertukaran atau pergantian waktu mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita mengalokasikan waktu dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut sekitar konsep yang sedikit memungkinkan menghantar ke pemahaman arti dan makna dari sebuah falsafah Bugis berikut:

Allah Ta’ala ji Waktu
Muhamma’ji Sambayang
Sujjukko Naung
Sipukale Memang Tongko

Pertama, Allah Ta’alaji Wattu, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “Allah Adalah Waktu”

Pernyataan “Allah adalah waktu” bukan berarti Allah adalah waktu secara fisik, tetapi berarti bahwa Allah adalah Penguasa waktu, Pencipta waktu, dan Pengatur segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Larangan mencela waktu mengajarkan kita untuk menerima takdir Allah dengan penuh kesabaran dan keimanan, karena semua yang terjadi sudah berada dalam ketentuan-Nya.

Pernyataan “Allah adalah waktu” merujuk pada sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, di mana Allah SWT berfirman:

“Janganlah kalian mencela waktu, karena sesungguhnya Allah adalah waktu.” (Shahih Muslim, no. 2246)

Makna Hadis: “Allah adalah Waktu”

  1. Bukan Makna Literal
    Pernyataan ini bukan berarti Allah SWT secara hakiki atau literal adalah waktu. Dalam Islam, Allah SWT bersifat Maha Suci dari kesamaan dengan makhluk-Nya, termasuk waktu yang merupakan makhluk ciptaan-Nya.
  2. Makna Hakiki: Allah adalah Pengatur Waktu

Makna sebenarnya dari hadis ini adalah bahwa Allah adalah Penguasa dan Pengatur waktu. Semua peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu berada dalam kehendak dan ketentuan-Nya. Allah yang menciptakan, mengatur, dan mengendalikan waktu.

  1. Larangan Mencela Waktu
    Dalam konteks hadis ini, Rasulullah SAW melarang manusia mencela waktu karena ketika seseorang mencela waktu atas kejadian buruk yang menimpanya, pada hakikatnya ia mencela takdir Allah SWT. Segala sesuatu yang terjadi di dalam waktu adalah bagian dari ketentuan-Nya.

Berikut beberapa Penjelasan Ulama

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari hadis ini adalah Allah SWT adalah Dzat yang mengatur waktu dan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Maka mencela waktu berarti mencela Allah secara tidak langsung.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menambahkan bahwa mencela waktu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak sabar dalam menghadapi musibah atau kesulitan hidup, dan hal ini dilarang dalam Islam.

Kedua, Muhammad ji Sambayang , yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “Muhammad adalah shalat”

Ungkapan “Muhammad adalah sholat” bukanlah pernyataan literal, melainkan bersifat simbolis. Maknanya merujuk pada:

  1. Nabi sebagai teladan utama dalam sholat.
  2. Sholat sebagai inti dari kehidupan spiritual Nabi Muhammad SAW.
  3. Kehidupan Nabi yang selalu terkoneksi dengan Allah, sebagaimana esensi dari sholat.
  4. Fungsi Nabi sebagai penghubung antara manusia dan Allah SWT, serupa dengan fungsi sholat sebagai penghubung spiritual.

Ungkapan “Muhammad adalah sholat” bukanlah pernyataan yang secara eksplisit ditemukan dalam Al-Qur’an atau hadis sahih. Namun, jika ungkapan ini muncul dalam konteks tertentu, biasanya ia bersifat simbolis atau filosofis, dan membutuhkan penafsiran yang lebih mendalam. Berikut adalah beberapa kemungkinan makna yang bisa dijelaskan:

  1. Nabi Muhammad sebagai Teladan dalam Sholat

Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam pelaksanaan sholat. Seluruh tata cara sholat yang dilakukan umat Islam berasal dari ajaran dan praktik yang diajarkan oleh beliau. Hal ini sesuai dengan sabda beliau:

“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.” (HR. Bukhari, no. 631)

Dalam konteks ini, ungkapan “Muhammad adalah sholat” bisa dimaknai bahwa kehidupan Nabi Muhammad SAW begitu lekat dengan sholat, baik secara fisik dalam praktik ibadah maupun secara spiritual dalam kesadaran hubungan dengan Allah SWT

  1. Sholat sebagai Inti Kehidupan Rasulullah

Bagi Rasulullah SAW, sholat bukan sekadar ritual, tetapi juga puncak dari hubungan antara hamba dan Tuhannya. Nabi bersabda:

“Sholat adalah penyejuk hatiku.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i)

Sholat bukan hanya kewajiban, tetapi menjadi kebutuhan dan sumber ketenangan bagi beliau. Dalam arti ini, “Muhammad adalah sholat” mencerminkan bahwa sholat adalah inti dari kehidupan spiritual Rasulullah.

  1. Makna Filosofis dan Simbolis

Dalam kajian tasawuf, ada pendekatan yang lebih mendalam bahwa sholat adalah perwujudan dari kesadaran penuh akan kehadiran Allah SWT, dan Rasulullah SAW adalah manusia yang mencapai kesadaran spiritual tertinggi dalam ibadahnya. Dengan demikian:

“Muhammad adalah sholat” bisa dipahami sebagai gambaran bahwa kehidupan Nabi Muhammad SAW sepenuhnya berorientasi kepada Allah SWT, sebagaimana esensi sholat itu sendiri adalah menghadirkan Allah dalam setiap aspek kehidupan.

  1. Sholat sebagai Penghubung antara Manusia dan Allah

Sholat adalah sarana komunikasi antara manusia dan Allah SWT. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah adalah penghubung antara manusia dan Allah melalui wahyu dan bimbingan langsung dari-Nya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki kedudukan yang mirip dengan fungsi sholat itu sendiri, yaitu sebagai “jembatan spiritual” antara hamba dan Tuhannya.

Ketiga, Sujjukko Naung yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “Sujudlah”

Sujudlah” adalah perintah Allah SWT kepada manusia untuk tunduk, patuh, dan merendahkan diri sepenuhnya di hadapan-Nya, baik dalam ibadah sholat maupun dalam makna ketaatan sehari-hari. Sujud bukan hanya sekadar gerakan fisik, tetapi juga manifestasi dari hati yang penuh keikhlasan, ketundukan, dan kecintaan kepada Allah SWT.

“Sujudlah” berasal dari kata sujud, yang dalam bahasa Arab (سَجَدَ – يَسْجُدُ – سُجُودًا) berarti merendahkan diri, tunduk, dan patuh sepenuhnya dengan meletakkan dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung jari kaki di tanah sebagai tanda kepatuhan dan penghambaan kepada Allah SWT.

Makna Sujud dalam Islam

Secara Fisik, Sujud adalah gerakan dalam sholat di mana seorang Muslim meletakkan dahinya ke tanah, yang melambangkan ketundukan mutlak di hadapan Allah SWT. Ini adalah posisi paling rendah secara fisik tetapi paling tinggi secara spiritual.
Secara Spiritual, Sujud mencerminkan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas, dan sepenuhnya bergantung pada Allah SWT. Dalam posisi sujud, seorang hamba berada dalam keadaan paling dekat dengan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:

“Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia sedang sujud.” (HR. Muslim, no. 482)

Secara Filosofis, Sujud melambangkan kerendahan hati, penyerahan diri, dan pelepasan segala bentuk kesombongan. Tidak ada yang lebih agung selain Allah, dan sujud adalah simbol pengakuan atas keagungan-Nya.

Dalam Al Qur’an, Sujud dalam Al-Qur’an sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Dan sujudlah kamu kepada-Nya dan sembahlah Dia.” (QS. Al-Hajj: 77)

Ayat ini menegaskan perintah Allah kepada manusia untuk sujud sebagai bentuk ketaatan dan ibadah.
Jenis-Jenis Sujud dalam Islam yang dikenal ada Sujud dalam Sholat sebagai bagian dari rukun sholat, Sujud Sahwi, Sujud Syukur, Sujud Tilawah dan lain sebagainya

Keempat, Sipukale Memang Tongko, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “Satu Jiwa atau Sejiwa “

“Satu jiwa” atau “sejiwa” menggambarkan sebuah ikatan yang kuat dan mendalam antara individu yang melibatkan kesamaan visi, koneksi emosional, harmoni, serta keterhubungan spiritual. Ini bukan sekadar tentang kesamaan dalam berpikir, tetapi juga tentang rasa saling percaya, memahami, dan mendukung satu sama lain di berbagai aspek kehidupan.

Istilah “satu jiwa” atau “sejiwa” menggambarkan hubungan yang sangat erat dan mendalam antara dua orang atau lebih, baik secara emosional, spiritual, maupun pemikiran. Ungkapan ini sering digunakan untuk menunjukkan keselarasan, kesamaan tujuan, atau ikatan batin yang kuat di antara individu.

Makna Satu Jiwa atau Sejiwa

  1. Kesamaan Pemahaman dan Tujuan

Orang yang “sejiwa” memiliki pemahaman, pandangan hidup, atau tujuan yang sama. Mereka cenderung berpikir dalam arah yang sama dan saling mendukung dalam mencapai tujuan tersebut.

  1. Koneksi Emosional yang Kuat

Hubungan “sejiwa” sering kali diartikan sebagai keterikatan emosional yang mendalam. Mereka dapat saling memahami bahkan tanpa perlu banyak bicara.

  1. Harmoni dalam Hubungan

Istilah ini mencerminkan harmoni dan keserasian dalam hubungan, baik itu hubungan persahabatan, percintaan, maupun dalam kerja sama tim.

  1. Spiritualitas dan Keterhubungan Batin

Dalam konteks spiritual atau filosofis, “satu jiwa” bisa merujuk pada kesatuan batin atau keterhubungan spiritual yang melampaui dimensi fisik.

  1. Pengorbanan dan Kepedulian

Orang yang “sejiwa” cenderung siap berkorban demi satu sama lain karena adanya rasa saling memiliki dan keterikatan yang kuat.

Dalam Konteks Relasi Manusia

Dalam Persahabatan: Dua sahabat yang selalu memahami dan mendukung satu sama lain disebut sebagai “sahabat sejiwa.”

Dalam Cinta atau Pernikahan: Pasangan yang merasa cocok secara emosional dan spiritual sering disebut sebagai “pasangan sejiwa.”

Dalam Tim Kerja atau Komunitas: Anggota tim yang memiliki visi dan misi yang sama serta bekerja sama dengan harmonis disebut sebagai tim yang “sejiwa.”

Maraji’ :

  1. Kemenag RI, Al Qur’an dan Terjemahannya
  2. Imam Al Bukhari, Kitab Shahih Bukhari
  3. Imam Muslim, Shahih Muslim
  4. Imam An Nawawi, Syarah Shahih Muslim
  5. Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fathul Bari
  6. Seneca, On the Shortness of Life