Rasionalitas Puasa dalam Filsafat Islam: Harmonisasi Akal dan Jiwa Menuju Kesempurnaan

Ghazinews.com, Maros – Dalam Filsafat Islam, terutama dalam pemikiran Mulla Sadra, manusia dipandang sebagai entitas yang bergerak menuju kesempurnaan eksistensial. Akal memiliki posisi tertinggi dalam struktur keberadaan manusia, dan setiap aktivitas ibadah, termasuk puasa, bertujuan untuk mengokohkan akal dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin jiwa.
Puasa bukan sekadar menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi lebih dalam dari itu, yakni mengendalikan nafsu agar akal dapat berfungsi secara optimal.
Dengan berpuasa, manusia tidak hanya menahan diri secara fisik tetapi juga secara spiritual, sehingga memberikan kesempatan bagi akal untuk lebih mendominasi jiwa.
Dalam bahasa filsafat, puasa berfungsi sebagai media tazkiyah (penyucian) jiwa. Ketika tubuh tidak dibebani oleh konsumsi berlebihan dan dorongan biologis lainnya, maka jiwa lebih ringan dan lebih siap untuk mencerna realitas yang lebih tinggi. Inilah mengapa di bulan Ramadan, manusia didorong untuk lebih banyak melakukan ibadah dan merenungi makna kehidupan, karena kondisi puasa memungkinkan akal bekerja dengan lebih tajam dan mendalam.
Dalam kerangka filsafat Islam, khususnya dalam tradisi hikmah, manusia dipandang sebagai entitas yang memiliki dimensi material dan spiritual. Oleh karena itu puasa adalah bentuk harmonisasi antara tubuh dan jiwa yang memungkinkan manusia mencapai keseimbangan eksistensial.
Manusia bukan hanya makhluk fisik yang makan dan minum, tetapi juga memiliki aspek spiritual. Dalam filsafat Mulla Sadra dikenal konsep harakah jauhariyyah (gerak substansial), yang menyatakan bahwa eksistensi manusia terus bergerak menuju kesempurnaan.
Puasa adalah salah satu cara untuk mempercepat gerak substansial ini, karena dengan menekan dominasi tubuh, maka jiwa dapat mengalami akselerasi dalam perjalanannya menuju Allah.
Dalam memahami puasa salah satu pendekatan unik adalah dari sisi aspek rasionalitas dalam pengendalian diri. Rasionalitas sejati bukan sekadar kemampuan berpikir logis, tetapi juga kemampuan mengendalikan keinginan dengan kesadaran dan kehendak yang kuat. Puasa mengajarkan manusia untuk tidak menjadi budak keinginan sesaat. Dalam filsafat moral Islam, kebebasan sejati bukanlah kebebasan melakukan apa pun yang diinginkan, tetapi kebebasan dari belenggu hawa nafsu. Dengan puasa, seseorang belajar bahwa ia memiliki kendali atas dirinya sendiri, bukan dikendalikan oleh dorongan biologis atau emosional.
Dalam sudut pandang ini, puasa berperan dalam mengasah daya kritis manusia. Ketika seseorang terbiasa menahan diri dan berpikir sebelum bertindak, maka ia tidak akan mudah terpengaruh oleh emosi atau propaganda yang menyesatkan. Oleh karena itu, puasa tidak hanya membangun ketahanan spiritual tetapi juga membentuk karakter yang lebih rasional dan bijaksana.
Penulis: Syamsir Nadjamuddin, S. Ag
ASN Kemenag Maros
Sumber:
~ Kemenag RI, Al Qur’an dan Terjemahannya
~ Imam Al Bukhari, Shahi Bukhari
~ Dr. Syaifan Nur, MA, Filsafat Hikmah Mulla Shadra
~ Sayyid Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta
~ Amini, Iman Semesta
~ Sayyid ThabaThaba’i, Tafsir Al Mizan
~ Sayyid Jawadi Amuli, Rahasia Ibadah