Penghulu KUA Lau Ajarkan Pemuda Memahami Konsep Sipokok Kayu Matinggia sebagai Metafora Kosmik Ekoteologi

Tim Redaksi
Kamis, 10 Juli 2025 21:02 - 111 View

Ghazinews.com, Maros – Dalam sebuah kegiatan pembinaan keagamaan yang dihadiri para pemuda dan remaja, Penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Lau Syamsir Nadjamuddin, S. Ag memperkenalkan konsep lokal Si Pokok Kayu Matinggia sebagai metafora kosmik yang sarat makna ekologis dan spiritual. Kegiatan ini bertujuan menumbuhkan kesadaran lingkungan dan spiritualitas generasi muda di tengah krisis ekologi global.

Konsep Sipokok Kayu Matinggia, yang dalam bahasa Bugis-Makassar berarti Sepohon Kayu Yang Maha Tinggi, diangkat dari syair klasik yang telah lama menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan. Syair tersebut berbunyi:

Si Pokok Kayu Matinggia — Sepohon Kayu Yang Maha Tinggi

Tallu Lawara leko’na — Berdaun Tiga Lembar

Napa’la’langngi — Yang Menyelimuti

Sikuntu Bone Alang — Seantero Alam Semesta

Dalam penjelasannya, Penghulu yang juga pecinta seni dan budaya ini, menguraikan bahwa metafora ini merepresentasikan hubungan mendalam antara manusia, alam, dan Tuhan. Ia menegaskan bahwa krisis lingkungan yang terjadi saat ini merupakan cerminan keterputusan manusia dari akar spiritual dan ekologisnya.

“Si Pokok Kayu Matinggia mengajarkan kita bahwa segala yang ada di alam ini adalah bagian dari jaringan kehidupan semesta. Kehancuran alam sama dengan kehancuran batin manusia,” ungkapnya di hadapan para peserta.

Dalam paparannya, Syamsir menjelaskan bahwa metafora Si Pokok Kayu Matinggia memuat konsep poros dunia yang dalam filsafat disebut axis mundi. Konsep ini membagi alam menjadi tiga tataran: alam atas (langit), alam tengah (bumi), dan alam bawah (akar spiritual). Ketiganya terhubung melalui lambang Tallu Lawara leko’na (berdaun tiga lembar) yang mencerminkan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam.

Mengutip pemikiran Mulla Sadra, seorang filsuf Persia, ia menegaskan bahwa segala realitas pada hakikatnya adalah satu dan hanya berbeda dalam manifestasi. “Tiga daun itu merepresentasikan tiga kesadaran: kepada Tuhan, diri sendiri, dan alam semesta,” ujarnya.

Lebih lanjut, Penghulu Syamsir N memaparkan makna Napa’la’langngi atau “Yang Menyelimuti”, yang mengingatkan bahwa seluruh semesta berada dalam pelukan kehadiran Ilahi. Ia mengutip Ibnu Arabi, tokoh besar tasawuf, yang menulis: “Tiada yang wujud kecuali Wujud-Nya. Alam hanyalah bayangan dari Wujud Mutlak.”

Ia juga mengaitkan hal ini dengan ungkapan Jalaluddin Rumi bahwa setiap makhluk adalah benang dalam jalinan keesaan. Menjaga alam berarti menjaga jalinan itu agar tetap utuh.

“Ketika kita merusak alam, sejatinya kita sedang merusak cermin yang memantulkan keindahan dan kehadiran Tuhan,” jelasnya.

Sebagai inti dari kegiatan tersebut, Penghulu KUA Lau mengingatkan para pemuda tentang peran manusia sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 30). Ia menekankan bahwa tanggung jawab manusia bukan untuk mengeksploitasi alam, melainkan untuk memeliharanya.

Ia juga mengutip filsuf Martin Heidegger yang mengkritik cara hidup modern yang menjauhkan manusia dari harmoni dengan alam. “Kita harus kembali pada konsep dwelling, hidup berdampingan dengan alam, bukan menguasainya,” katanya.

Menguatkan pesannya, ia menyampaikan pandangan Imam Khomeini yang menyebut manusia sebagai mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos. Dengan demikian, kerusakan di alam merupakan refleksi dari kerusakan batin manusia sendiri.

Di akhir kegiatan, para peserta diajak merenungkan bagaimana Si Pokok Kayu Matinggia dapat menjadi panduan spiritual untuk menjaga lingkungan. Setiap unsur alam dipandang sebagai manifestasi Napa’la’langngi, kehadiran Tuhan yang menyelubungi segalanya.

Syamsir menutup kegiatan dengan mengutip Henryk Skolimowski, seorang tokoh ekofilsafat:
“Alam semesta bukan hanya tempat tinggal kita, melainkan tubuh agung yang suci, di mana kita adalah bagian di dalamnya.”

Dengan menghidupkan kembali warisan Si Pokok Kayu Matinggia, generasi muda diajak untuk memaknai hubungan manusia dengan alam secara lebih mendalam dan sakral, bukan sekadar sebagai sumber daya, melainkan sebagai jalinan kehidupan yang suci dan harus dijaga.

Reporter: Syamsir Nadjamuddin, S. Ag

Tags: