Mengapa Hari Naas Dianggap Sakral? Telaah Tradisi dan Argumen Filosofisnya

Tim Redaksi
Minggu, 29 Juni 2025 10:00 - 66 View

Ghazinews.com Maros – Kepercayaan akan adanya hari naas atau hari sial merupakan bagian dari narasi kosmologis dalam berbagai kebudayaan tradisional. Meskipun modernitas cenderung menepis hal-hal berbau mistik atau takhayul, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan ini masih hidup dan bahkan dianggap sakral di banyak komunitas. Artikel ini mengulas latar belakang tradisi serta argumen filosofis yang menopang sakralitas hari naas dalam konteks kultural dan spiritual.

Tradisi Hari Naas: Narasi Kultural dan Kearifan Lokal

Dalam tradisi masyarakat Bugis, dikenal konsep “mua’na to ri lino” yang mempercayai bahwa setiap tindakan memiliki waktu terbaik dan terburuknya. Hari-hari tertentu diyakini memiliki energi buruk, disebut sebagai hari “sollu” atau “naas”, yang sebaiknya dihindari untuk melangsungkan hajatan penting seperti pernikahan atau memulai perjalanan.

Sebagaimana disebut oleh Mattulada (1985) dalam bukunya Latoa:
“Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, sistem waktu dalam budaya Bugis-Makassar sangat terkait dengan paséng ( petunjuk leluhur ), termasuk pengetahuan akan hari baik dan buruk.
“Passéng bukan sekadar warisan tradisi, tetapi pedoman nilai-nilai kosmos,” tulis Mattulada.

Hal serupa ditemukan dalam tradisi Jawa. Koentjaraningrat (1984) menjelaskan dalam Kebudayaan Jawa, bahwa masyarakat Jawa memiliki sistem weton dan neptu yang diyakini bisa menentukan hari-hari yang mendatangkan keberuntungan maupun kesialan. Kepercayaan ini tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi instrumen dalam mempertahankan harmoni antara manusia dan jagat raya ( alaming dumadi ).

Argumen Filosofis: Kosmologi Waktu dan Ontologi Ketakutan

Dalam dimensi filsafat, pertanyaan tentang hari naas menyentuh aspek ontologi waktu dan metafisika kehendak.
Filsuf Yunani kuno, Heraclitus, mengatakan bahwa “semua hal mengalir” ( panta rhei ) — termasuk waktu. Namun, waktu tidak netral. Ia memiliki kualitas dan karakter, termasuk potensi destruktifnya.
Dari sinilah lahir kepercayaan bahwa ada momen-momen waktu yang ‘lemah’ atau ‘berbahaya’.

Mircea Eliade, seorang ahli sejarah agama, menyatakan bahwa masyarakat tradisional membedakan antara waktu profan dan waktu sakral. Dalam karyanya The Sacred and the Profane (1957), Eliade menulis:

“Manusia tradisional tidak hidup dalam waktu historis yang homogen, melainkan dalam waktu berkualitas — ada waktu yang ‘baik’ dan waktu yang ‘buruk’, dan ini ditentukan oleh mitos serta pengalaman kolektif.”

Dari sisi psikologi eksistensial, Paul Tillich berbicara tentang “ontological anxiety” atau kecemasan ontologis sebagai bagian dari pengalaman manusia yang sadar akan keterbatasan dan ketakberdayaan dalam menghadapi takdir.
Hari naas menjadi ekspresi simbolik dari kecemasan tersebut — cara manusia memberi makna dan batas pada kekacauan semesta.

Hari Naas sebagai Sakralitas Sosial dan Refleksi Diri

Hari naas dalam banyak budaya sebenarnya bukan untuk ditakuti secara irasional, tetapi diperlakukan sebagai momen refleksi dan ritme sakral dalam kehidupan.

Dalam perspektif antropolog Clifford Geertz, simbol-simbol seperti hari naas membentuk cultural system yang memberi struktur pada kekacauan hidup. Dalam The Interpretation of Cultures (1973), Geertz menulis:

“Simbol-simbol budaya bukan sekadar tanda-tanda, melainkan kerangka makna di mana manusia menafsirkan dunia dan dirinya sendiri.”

Bahkan dalam Islam, meskipun menolak tahayul dan thiyarah (beranggapan sial karena waktu atau tempat tertentu), Islam tetap memberi tempat bagi hari-hari istimewa seperti Asyura, Jumat, atau malam-malam tertentu untuk melakukan muhasabah.
Dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

“Tidak ada penularan, tidak ada thiyarah, tidak ada burung hantu (yang membawa sial), dan tidak ada Safar (bulan sial).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun demikian, ulama seperti Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dilarang adalah keyakinan tak berdasar syariat, bukan makna simbolik yang dapat mengantar pada ketakwaan dan kehati-hatian.

Hari Naas sebagai Waktu Sakral, Bukan Takhayul

Kepercayaan terhadap hari naas tidak semata lahir dari irasionalitas atau tahayul, tetapi dari suatu sistem budaya yang kompleks dan bermakna. Tradisi hari naas membentuk keseimbangan spiritual, memberi waktu bagi manusia untuk berhenti, merenung, dan menyadari bahwa tidak semua waktu adalah waktu untuk bertindak.
Dari sisi filosofis, hari naas mengandung nilai ontologis dan eksistensial — sebagai bagian dari upaya manusia memberi makna atas ketidakpastian hidup.
Dengan demikian, sakralitas hari naas bukan berarti mengultuskan kesialan, melainkan menghormati waktu sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijalani dengan arif, sabar, dan penuh pertimbangan.

Daftar Pustaka:

  • Eliade, Mircea. The Sacred and the Profane. Harcourt Brace Jovanovich, 1957.
  • Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. Basic Books, 1973.
  • Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka, 1984.
  • Mattulada. Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1985.
  • Tillich, Paul. The Courage to Be. Yale University Press, 1952.
  • Hadis riwayat Bukhari dan Muslim tentang larangan thiyarah.
  • Imam Nawawi. Syarh Shahih Muslim, jilid 14.
Tags: