Menanam Cinta, Menjaga Bumi: Gerakan Setor Bibit Pohon Bagi Catin di KUA

Tim Redaksi
Jumat, 16 Mei 2025 07:33 - 182 View
Penulis: Syamsir Nadjamuddin, S. Ag (ASN Kemenag Maros)

Ghazinews.com, maros -“Jika satu juta seratus ribu orang catin pertahun menyetor bibit pohon untuk ditanam, berarti indonesia diperkaya dengan pohon, tujuannya agar catin tidak hanya diajarkan menanam bibit manusia, tetapi juga diajarkan menanam bibit pohon.”
(Menang, Prof Nasaruddin Umar, 2025 ).

Pernikahan bukan hanya soal dua insan yang saling mencintai dan berjanji sehidup semati, melainkan juga momen sakral yang dapat menjadi titik tolak perubahan sosial. Salah satu wacana yang kini mulai digaungkan di beberapa daerah adalah gerakan setor bibit pohon oleh calon pengantin (catin) saat mendaftar di Kantor Urusan Agama (KUA). Gerakan ini memadukan semangat cinta dalam pernikahan dengan tanggung jawab ekologis, sebagai bentuk konkret menjaga bumi. Artikel ini mengulas latar belakang, nilai filosofis, serta potensi transformasi sosial dari wacana tersebut.

Dalam perspektif ekoteologi, alam bukan hanya objek pasif, melainkan subjek spiritual yang memiliki hak untuk dihargai dan dilestarikan. Teologi Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah (QS. Al-Baqarah: 30), yaitu pemelihara bumi, bukan perusaknya. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir menyebutkan bahwa tugas kekhalifahan mencakup tadbir al-‘alam (pengelolaan semesta) secara bijaksana dan adil.

Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, pakar lingkungan hidup dan etika Islam, menyatakan:
“Pelestarian lingkungan merupakan bagian dari iman. Bila kita merusak alam, berarti kita telah merusak keseimbangan yang telah Allah tetapkan.”
(Etika Lingkungan dalam Perspektif Islam, 2009)

Oleh karena itu, gagasan menanam pohon sebagai bagian dari proses pernikahan sejalan dengan misi spiritual Islam yang menjadikan cinta bukan hanya urusan antar manusia, tetapi juga relasi dengan ciptaan Allah yang lainnya.

Fenomena krisis iklim, deforestasi, dan kerusakan lingkungan menuntut keterlibatan semua pihak, termasuk lembaga keagamaan. Dalam konteks Indonesia, KUA memiliki peran strategis dalam menginternalisasi nilai-nilai keberlanjutan karena menjadi pintu awal bagi pasangan muda sebelum membangun rumah tangga.
Gerakan setor bibit pohon oleh catin lahir dari kesadaran bahwa pernikahan bukan hanya urusan privat, tetapi juga memiliki implikasi sosial dan ekologis. Dengan mendorong pasangan calon pengantin untuk menyumbang dan kelak menanam pohon, diharapkan akan tumbuh kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan hidup sebagai bagian dari nilai ibadah dan cinta kasih.

Beberapa KUA di Indonesia telah mulai mengadopsi praktik ramah lingkungan. Misalnya, KUA Kecamatan Kasihan, Bantul, DIY, pernah menggagas gerakan setor sampah plastik sebagai syarat administrasi pra-nikah. Gagasan ini mendapat respons positif karena menyentuh kesadaran ekologis generasi muda.
Mengadopsi pendekatan serupa, gerakan setor bibit pohon oleh catin menjadi lebih kontekstual, mengingat krisis iklim global yang kini terasa nyata. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia kehilangan sekitar 684.000 hektare tutupan hutan per tahun (2020). Jika dibiarkan, ini akan memperparah bencana ekologis seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
Dengan asumsi ada lebih dari 1 juta pernikahan setiap tahun di Indonesia (data BPS 2023), maka jika setiap pasangan menyumbangkan satu bibit dan menanamnya, akan ada tambahan sejuta pohon per tahun—kontribusi yang luar biasa terhadap penghijauan nasional. Benar kata Menteri Agama Republik Indonesia, Prof Dr Nasaruddin Umar MA. Dalam sebuah pidato pada sebuah launching penanaman satu juta bibit pohon:
“Jika satu juta seratus ribu orang catin pertahun menyetor bibit pohon untuk ditanam, berarti indonesia diperkaya dengan pohon, tujuannya agar catin tidak hanya diajarkan menanam bibit manusia, tetapi juga diajarkan menanam bibit pohon.”

Simbolisme Menanam Pohon dalam Pernikahan

Menanam pohon adalah tindakan simbolik yang penuh makna. Akar yang mengikat tanah melambangkan fondasi rumah tangga yang kokoh. Batang yang tumbuh tegak menyimbolkan komitmen. Daun dan buah yang bermekaran menjadi lambang harapan, keberkahan, dan kesinambungan hidup. Dalam banyak budaya dan ajaran agama, pohon adalah lambang kehidupan, rezeki, dan amal jariyah.
Dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang Muslim menanam sebuah pohon atau menabur benih, kemudian burung, manusia, atau binatang memakan darinya, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa menanam pohon adalah ibadah dan bentuk kasih sayang kepada seluruh makhluk.

Nilai Edukatif dan Ekologis

Gerakan setor bibit pohon membawa misi edukatif. Pasangan muda diajak untuk berpikir jangka panjang tentang kehidupan bersama dan dampaknya terhadap alam. Dengan menyatukan prosesi pernikahan dengan aksi lingkungan, wacana ini mendidik masyarakat bahwa mencintai pasangan juga berarti mencintai bumi tempat mereka akan hidup bersama.
Selain itu, gerakan ini dapat memperkuat gerakan penghijauan di tingkat lokal. Bayangkan jika setiap pasangan yang menikah menyumbangkan satu bibit pohon saja, maka akan ada ribuan pohon baru yang ditanam setiap tahun. Ini adalah investasi ekologis yang memberi manfaat lintas generasi.

Potensi Implementasi dan Tantangan

Untuk mewujudkan gerakan ini, diperlukan regulasi ringan dari KUA atau dukungan kebijakan dari Kementerian Agama sebagai bentuk integrasi nilai hijau dalam layanan publik. KUA dapat bekerja sama dengan dinas kehutanan atau kelompok tani untuk memastikan bibit yang disetor sesuai kebutuhan lingkungan sekitar.
Namun, tentu ada tantangan: dari kurangnya kesadaran hingga kesiapan infrastruktur. Oleh karena itu, pendekatan persuasif dan edukatif jauh lebih penting ketimbang pendekatan administratif yang kaku. Gerakan ini harus dibingkai sebagai bagian dari mawaddah wa rahmah dalam pernikahan, bukan sebagai beban tambahan.

Gerakan setor bibit pohon oleh catin di KUA bukanlah sekadar tren hijau, melainkan refleksi nilai spiritual, ekologis, dan sosial dalam satu tarikan napas. Ia adalah bentuk cinta yang menembus batas rumah tangga menuju semesta. Menanam pohon saat menikah adalah menanam harapan, menjaga bumi adalah menjaga cinta. Dengan gerakan ini, pernikahan menjadi saksi bagi dua cinta: kepada pasangan, dan kepada bumi yang memeluk kehidupan.

Daftar Pustaka:

  1. BPS. (2023). Statistik Pernikahan di Indonesia 2023. Badan Pusat Statistik.
  2. KLHK. (2020). Data Deforestasi Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  3. Hafidhuddin, D. (2009). Etika Lingkungan dalam Perspektif Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
  4. Ar-Razi, F. (n.d.). Tafsir al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr.
  5. Hadis Riwayat Bukhari & Muslim.