Menafsir Tradisi Peca’ Asyura Melalui Lensa Teologi Hermeneutika di Masjid Nurul Khaerat Bonto Rea

Ghazinews.com – Maros Penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Lau, Syamsir Nadjamuddin, memberikan materi pengajian di hadapan remaja masjid, bertajuk “Menafsir Tradisi Peca’ Asyura: Kajian Teologi Hermeneutika atas Peringatan Asyura” di Masjid Nurul Khaerat, lingkungan Bonto Rea, kelurahan Maccini Baji, Maros, Jumat (5/7).
Dalam kesempatan itu, Syamsir menjelaskan bahwa hermeneutika tidak hanya diterapkan dalam menafsirkan teks-teks suci, tetapi juga sangat relevan dalam memahami simbol dan ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Ia mengutip pemikiran Paul Ricoeur yang menyebut bahwa makna bukan hanya terletak pada kata-kata, tetapi juga dalam tindakan dan simbol yang berkembang di tengah komunitas.
“Tradisi Peca’ Asyura yang kita warisi adalah contoh konkret bagaimana masyarakat menanamkan nilai-nilai spiritual melalui elemen budaya. Ini bukan sekadar acara makan bersama, tetapi sebuah ekspresi iman dan solidaritas,” tutur Syamsir di hadapan jamaah.
Syamsir juga mengulas filosofi di balik sajian Bubur Asyura atau Peca’, yang terdiri dari berbagai bahan makanan yang disatukan dalam satu hidangan. “Setiap bahan adalah simbol keragaman hidup manusia yang tetap satu dalam pengabdian kepada Allah,” jelasnya sambil mengutip pemikiran Clifford Geertz tentang ritual sebagai cultural performance yang sarat makna sosial dan moral.
Pengajian singkat yang berlangsung khidmat ini juga menyinggung nilai-nilai teologis yang terkandung dalam peringatan Asyura, terutama terkait perjuangan kebenaran dan keadilan yang diilustrasikan melalui kisah para tokoh Islam terdahulu. Syamsir mengutip pernyataan Imam Khomeini bahwa setiap peristiwa yang memperjuangkan kebenaran adalah pesan abadi yang layak direnungkan.
Lebih jauh, Syamsir menyoroti dimensi sosial dari tradisi Peca’ Asyura yang mencerminkan semangat filantropi Islam melalui sedekah makanan kepada fakir miskin dan anak yatim. Menurutnya, ini sejalan dengan prinsip maqasid al-syari’ah dan penguatan tali persaudaraan atau habl min al-nas.
“Tradisi seperti ini jangan sampai mati di tengah arus globalisasi. Perlu ada reinterpretasi agar tetap hidup dan kontekstual di zaman modern,” tegas Syamsir seraya mengutip pemikiran Fazlur Rahman mengenai pentingnya ijtihad dalam menjaga relevansi ajaran Islam.
Pengajian yang dihadiri remaja masjid ini diakhiri dengan ajakan untuk menjaga dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi Islam yang sarat makna. “Peca’ Asyura bukan hanya ritual, tapi sumber inspirasi membangun masyarakat yang religius, adil, dan penuh solidaritas,” pungkas Syamsir.
Acara kemudian ditutup dengan pembacaan doa asyura.(*/hd )