Ekoteologi dan Wajah Tuhan: Refleksi Hari Bumi Ke-55

Ghazinews.com Maros – Tanggal 22 April 2025 menandai peringatan Hari Bumi yang ke-55. Hari ini bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi menjadi momen reflektif untuk menyadari bahwa krisis ekologis adalah krisis spiritual. Di tengah perubahan iklim, deforestasi, dan kerusakan ekosistem, kita perlu mengajukan pertanyaan mendalam:
Di mana letak wajah Tuhan dalam kerusakan ini?
Ekoteologi: Iman dan Ekologi Bertemu
Ekoteologi lahir dari kesadaran bahwa iman dan lingkungan tidak bisa dipisahkan. Dalam pandangan Islam, manusia diberi amanah sebagai khalifah di bumi:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.’”
(QS. Al-Baqarah: 30)
Prof. Seyyed Hossein Nasr, filsuf Islam kontemporer, menyatakan bahwa kerusakan ekologi adalah buah dari “kehilangan pandangan sakral terhadap alam”. Bagi Nasr, alam bukan sekadar objek eksploitasi, tetapi manifestasi tajalli (penampakan) Tuhan.
Dalam tradisi Kristen, Santo Fransiskus dari Assisi—yang dijuluki Santo Pelindung Lingkungan—berdoa kepada Tuhan dengan menyapa alam sebagai “saudara matahari” dan “saudari bulan”. Ia mengajarkan bahwa semua ciptaan adalah keluarga besar yang berasal dari satu Pencipta.
Dalam Hinduisme, konsep prakriti (alam) adalah energi ilahi dari Brahman. Menyakiti alam berarti menyakiti aspek ilahi.
Dalam Buddhisme, Dalai Lama menegaskan:
“Bumi tidak hanya tempat tinggal kita; ia adalah tubuh kita yang lebih besar.”
Wajah Tuhan dalam Bumi yang Luka
Alam adalah ayat-ayat kauniyah, tanda-tanda Tuhan yang terbentang:
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Adz-Dzariyat: 20)
Namun hari ini, ayat-ayat itu rusak: gunung digunduli, laut tercemar, udara menghitam.
Fritjof Capra, fisikawan dan pemikir sistem, mengingatkan:
“Kita tidak bisa menyembuhkan bumi tanpa menyembuhkan cara pandang kita terhadapnya.”
Jika kita percaya bahwa Tuhan itu Maha Pengasih, maka kasih itu seharusnya menyelimuti seluruh ciptaan, bukan hanya umat manusia.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
“Jadilah kamu sumber kasih sayang bagi makhluk Allah, maka Allah akan merahmatimu.”
Wajah Tuhan kini hadir dalam jeritan tanah yang retak, hutan yang terbakar, dan makhluk yang punah. Kita dipanggil untuk menjadi tangan kasih-Nya dalam merawat bumi.
Hari Bumi sebagai Pertobatan Ekologis
Krisis ekologis bukan hanya masalah teknis, tetapi juga spiritual. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menulis:
“Kerusakan lingkungan adalah cerminan dari kerusakan batin manusia. Kita membutuhkan pertobatan ekologis.”
Konsep ini sejalan dengan prinsip islah dalam Islam—perbaikan dan pemulihan. Dalam QS. Al-A’raf: 56 ditegaskan:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
Hari Bumi adalah saatnya kita bertobat secara ekologis: dari keserakahan menuju kesederhanaan, dari dominasi menuju harmoni.
Ekoteologi Sebagai Jalan Pulang
Ekoteologi menawarkan jalan pulang: dari keterasingan menuju keintiman spiritual dengan bumi. Dalam tasawuf, bumi adalah cermin dari realitas ilahi. Jalaluddin Rumi berkata:
“Lihatlah ke taman, ke bunga, ke pohon, dan lihatlah Tuhan di sana.”
Maka mencintai bumi bukan sekadar tindakan etis, tapi juga laku spiritual. Kita merawat ciptaan karena kita mencintai Sang Pencipta.
Ekoteologi Kemenag RI dalam Melestarikan Lingkungan Alam
Kementerian Agama Republik Indonesia telah menunjukkan kepedulian terhadap isu lingkungan hidup melalui pendekatan keagamaan, salah satunya lewat program ekoteologi. Program ini menggabungkan nilai-nilai agama dan spiritualitas dengan aksi pelestarian lingkungan
Program ekoteologi Kemenag RI adalah bukti nyata bahwa pelestarian alam bisa menjadi bagian dari ibadah. Menghidupkan bumi adalah wujud syukur atas nikmat Tuhan, dan menjaga lingkungan adalah bentuk nyata dari hablum minal ‘alam. Maka sudah sepatutnya ekoteologi tidak hanya menjadi wacana, tetapi gerakan sosial yang menyatu dalam kehidupan umat beragama.
Berikut inti sari sambutan Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., dalam peringatan Hari Bumi ke-55 pada 22 April 2025:
- Gerakan Penanaman Sejuta Pohon Matoa
Kementerian Agama menginisiasi gerakan penanaman satu juta pohon matoa di seluruh Indonesia. Kegiatan ini dipusatkan di Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan diikuti oleh ASN Kemenag, tokoh lintas agama, serta masyarakat dari
berbagai daerah.
- Ekoteologi sebagai Program Prioritas
Menag menekankan bahwa penguatan ekoteologi menjadi salah satu dari delapan program prioritas (Astaprotas) Kementerian Agama. Hal ini bertujuan untuk menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai dasar dalam pelestarian lingkungan.
- Pentingnya Peran Agama dalam Pelestarian Alam
Menag mengajak seluruh tokoh agama untuk memberikan teladan dalam pelestarian alam. la menyebutkan bahwa semua agama memiliki ajaran yang mendukung pelestarian lingkungan, seperti konsep khilafah dalam Islam, Tri Hita Karana dalam Hindu, dan Laudato Si’ dalam Katolik
- Trilogi Kerukunan Jilid II: Manusia dan Alam
Menag memperkenalkan konsep trilogi kerukunan jilid II yang mencakup hubungan manusia dengan alam. la menekankan bahwa lingkungan bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan bagian dari makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki peran dalam keseimbangan kehidupan.
- Melibatkan Rumah Ibadah dalam Gerakan Ekoteologi
Kementerian Agama akan menjadikan masjid, rumah ibadah, Kantor Urusan Agama (KUA), hingga lembaga pendidikan keagamaan sebagai motor gerakan ekoteologi nasional. Upaya ini diharapkan berkontribusi dalam pelestarian lingkungan dan mencegah kerusakan iklim.
Hari Bumi ke-55 ini harus menjadi momentum untuk menyatukan kembali iman, ilmu, dan aksi. Ekoteologi bukan sekadar gagasan akademis, tapi panggilan suci: mengembalikan wajah Tuhan dalam bumi yang sedang luka. Dalam setiap tetes air yang bersih, dalam setiap hutan yang lestari, dan dalam setiap tindakan menjaga alam—di sanalah wajah Tuhan bersinar.
Berikut adalah daftar referensi untuk artikel “Ekoteologi dan Wajah Tuhan: Refleksi Hari Bumi Ke-55”, terdiri dari sumber kitab suci, karya ilmiah, dan kutipan tokoh lintas agama:
Penulis : Syamsir Nadjamuddin
ASN Kemenag Maros
Daftar Referensi
- Al-Qur’an al-Karim.
- Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. London: George Allen & Unwin, 1968.
- Paus Fransiskus. Laudato Si’: On Care for Our Common Home. Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2015.
- Capra, Fritjof. The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems. New York: Anchor Books, 1996.
- Rumi, Jalaluddin. The Essential Rumi. Terj. Coleman Barks. New York: HarperCollins, 2004.
- Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
- Dalai Lama. Ethics for the New Millennium. New York: Riverhead Books, 1999.
- Kitab Kejadian, Perjanjian Lama.
- Santo Fransiskus dari Assisi. Canticle of the Sun (Kidung Saudara Matahari).
- QS. Al-Baqarah: 30
- QS. Adz-Dzariyat: 20
- QS. Al-A’raf: 56