Ekoteologi dan Wahdatusy Syuhud dalam Pendidikan: Membangun Kurikulum Cinta Berbasis Tauhid

Ghazinews.com Maros : “Dalam fana, sang arif menyaksikan bahwa segala sesuatu tampak sebagai manifestasi dari kehadiran Tuhan karena kesempurnaan cintanya dan totalitas perhatiannya kepada-Nya. ( AM Syata, M. Ag, Khalwatiyah Samman Turikale, 2019)
Tulisan ini adalah hasil telaah atas sebuah gagasan besar Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA, yakni penerapan ekoteologi dalam mewujudkan kurikulum cinta.
Tulisan ini menguraikan pendekatan integratif antara ekoteologi dan konsep wahdatusy syuhud dalam kerangka pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai tauhid.
Di tengah krisis ekologis dan degradasi spiritual manusia modern, artikel ini menawarkan sebuah paradigma kurikulum cinta yang menjadikan tauhid bukan hanya sebagai doktrin, melainkan sebagai prinsip hidup yang menyatukan kesadaran ekologis dan kehadiran Tuhan dalam setiap aspek realitas. Pendidikan yang demikian tidak hanya membentuk intelektualitas, tetapi juga merawat bumi dan menumbuhkan cinta ilahiah dalam tindakan.
Krisis lingkungan dan krisis spiritual dewasa ini bukanlah dua gejala yang terpisah. Keduanya lahir dari akar kesadaran yang terfragmentasi; manusia telah melihat alam sebagai objek yang terpisah dari dirinya dan Tuhan. Di sinilah peran pendidikan menjadi strategis: bukan hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi menanamkan kembali kesatuan hakikat antara manusia, alam, dan Tuhan. Artikel ini menyoroti pentingnya integrasi antara ekoteologi dan wahdatusy syuhud sebagai fondasi untuk membangun kurikulum pendidikan yang dilandasi cinta dan tauhid.
Ekoteologi: Membaca Alam sebagai Ayat
Ekoteologi memandang alam sebagai ayat kauniyah (tanda-tanda Tuhan dalam ciptaan). Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk merenungi langit, bumi, gunung, hujan, dan hewan sebagai bentuk dari manifestasi kebesaran Ilahi. Sayangnya, modernitas telah menggantikan perenungan dengan eksploitasi. Ekoteologi hadir untuk mengembalikan fungsi spiritual alam dalam kesadaran manusia. Alam bukan hanya ruang hidup, tetapi juga ruang tafakur, ruang dialog dengan Sang Pencipta.
Wahdatusy Syuhud: Kesatuan dalam Penglihatan
Konsep wahdatusy syuhud, berbeda dari wahdatul wujud, menekankan kesatuan dalam kesadaran dan pandangan terhadap segala yang ada sebagai manifestasi kehadiran Tuhan. Dalam kerangka pendidikan, ini berarti melatih peserta didik untuk melihat kehidupan, ilmu, dan alam sebagai pancaran dari satu sumber: Allah. Pendidikan semacam ini menanamkan spiritualitas yang tidak memisahkan ilmu dari iman, alam dari Tuhan, dan tindakan dari nilai-nilai ilahiah.
Tauhid sebagai Akar Kurikulum Cinta
Tauhid bukan hanya prinsip teologis, melainkan cara hidup. Dalam kurikulum pendidikan, tauhid perlu diartikulasikan secara fungsional: membentuk sikap, nilai, dan perilaku yang mencerminkan kesadaran akan keesaan Tuhan dalam segala aspek kehidupan. Kurikulum cinta berbasis tauhid menjadikan cinta sebagai poros nilai—cinta kepada Tuhan, kepada manusia, dan kepada alam. Cinta inilah yang melahirkan tanggung jawab ekologis, empati sosial, dan kehausan akan ilmu yang bersumber dari yang Maha Tahu.
Membangun Kurikulum Cinta: Sinergi Spiritualitas dan Ekologi
Pendidikan berbasis tauhid dan cinta harus dirancang untuk menumbuhkan kesadaran ekologis dan spiritualitas transenden. Mata pelajaran seperti sains, geografi, dan biologi dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai spiritual agar peserta didik tidak hanya memahami hukum-hukum alam, tetapi juga menghayati bahwa hukum itu adalah ekspresi dari kehendak Tuhan. Di sisi lain, pelajaran agama dan akhlak harus menyentuh dimensi kontemplatif, menyadarkan bahwa setiap makhluk hidup adalah bagian dari simfoni Ilahi.
Ekoteologi dan wahdatusy syuhud bukanlah dua konsep yang berdiri sendiri, tetapi saling menguatkan dalam membangun paradigma pendidikan tauhidi. Kurikulum cinta berbasis tauhid mengajak kita menyatukan kembali hati, akal, dan tindakan dalam satu orbit penghambaan kepada Tuhan. Inilah pendidikan yang bukan hanya membentuk manusia cerdas, tapi juga manusia yang mencintai bumi, mencintai sesama, dan senantiasa memandang dunia dengan mata tauhid.
Daftar Pustaka:
- Al-Qur’an Al-Karim.
- Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Harper & Row, 1968.
- Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. ISTAC, 1993.
- Khalid, Fazlun & O’Brien, Joanne. Islam and Ecology. Cassell, 1992.
- AM. Syata, M. Ag, Halaqah Khalwatiyah Samman Turikale.
- Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, 2020
- Ust Syamsunar Nurdin, Insan Kamil: Perspektif Ibnu Arabi, 2020
- Sayyid Ahmad Fazeli, Mazhab Ibnu Arabi, 2016