Yang Kukenal, Sang Pendekar Moderasi Beragama Itu, Ust. Dr. H. Muhammad, S.Ag., M.Ag
Moderasi Beragama: Pendekatan Berdasar Fenomena Masyarakat dan Konteks Kekinian
Ghazinews.com, Warga Butta Salewangang, Maros, mengenalnya dengan sebutan Pendekar Moderasi Beragama. Gelar itu tidak lahir dari ruang kosong, melainkan tumbuh dari sikap, karya, dan keteladanan seorang pemimpin yang menanamkan nilai-nilai kebersamaan di tengah keberagaman. Dialah Dr. H. Muhammad, S.Ag., M.Ag, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Maros, yang selama masa tugasnya dikenal sebagai figur religius yang teduh, cerdas, dan berpandangan terbuka.
Dalam setiap ruang dialog, forum resmi, hingga khutbah Jumat pertamanya di Masjid Al-Markaz Al-Islami Maros, Muhammad selalu membawa pesan damai yang sama: moderasi beragama adalah cara hidup, bukan sekadar konsep. Ia menolak segala bentuk radikalisme, kekerasan, dan intoleransi, sambil menegaskan pentingnya keseimbangan dalam beragama.
“Moderasi itu artinya wasathiyah, berada di tengah, berimbang,” ujarnya dalam berbagai kesempatan. “Dalam pelayanan publik tidak boleh pilih kasih, dalam bertetangga tidak boleh membeda-bedakan siapa yang seagama dan siapa yang tidak.”
Menanamkan Nilai di Setiap Langkah
Sebagai pimpinan Kemenag Maros, ia tidak hanya bicara tentang moderasi, tetapi mencontohkannya. Usai kunjungan studi banding ke Tana Toraja, beliau dengan tegas mengimbau agar ASN Kemenag berhenti menggunakan kalimat pembatas dalam acara resmi seperti, ‘Doa ini sesuai agama Islam, bagi non-Muslim diharap menyesuaikan’.
Baginya, kalimat itu tidak sejalan dengan semangat inklusivitas yang harus dijaga dalam kehidupan berbangsa.
Muhammad menegaskan bahwa yang dimoderasi bukan agamanya, tetapi sikap beragamanya. Semua agama, ujarnya, mengajarkan nilai-nilai universal yang sama: tidak boleh berbohong, memfitnah, membunuh, atau berbuat zalim. Maka, tugas setiap pemeluk agama adalah membuka ruang saling menghargai dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan.
“Kita harus bergandeng tangan dengan umat lain dalam urusan sosial kemasyarakatan. Itulah wajah moderasi yang sebenarnya,” katanya.
Moderasi Sebagai Jalan Kebangsaan
Sebagai alumni Jurusan Perbandingan Agama UIN Alauddin Makassar, Dr. Muhammad paham betul bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Ia menolak menjadikan perbedaan sebagai sumber konflik. “Khilafiyah tidak sepatutnya dibawa ke ruang publik,” tegasnya. “Soal keyakinan adalah urusan pribadi, bukan bahan untuk menjustifikasi orang lain.”
Menurutnya, ada tiga alasan utama mengapa moderasi beragama penting di era kini:
- Mengikis eksklusivitas beragama. Klaim kebenaran sepihak, seolah hanya kelompok tertentu yang akan masuk surga, adalah bentuk eksklusivitas yang harus diluruskan.
- Menumbuhkan cinta tanah air. Ia prihatin dengan munculnya generasi yang giat beragama namun tidak menghargai simbol negara. “Menghormati bendera bukan mencederai iman, itu tanda penghormatan terhadap perjuangan bangsa,” ujarnya.
- Memberikan rasa aman kepada pemeluk agama lain. Ia mencontohkan, tahun lalu umat Katolik di Maros sempat takut memasang papan nama gereja mereka. “Syukur, kini sudah terpasang, berkat kerja sama Pemkab dan Kemenag. Itulah wujud nyata moderasi.”
Fenomena dan Konteks Kekinian
Dr. Muhammad juga mengingatkan bahwa cara pandang terhadap moderasi harus terus berkembang sesuai konteks sosial. “Sepuluh tahun ke depan, bisa jadi seseorang yang bercadar justru berpaham moderat,” ujarnya. “Jadi kita tak boleh menilai hanya dari tampilan luar.”
Bagi beliau, moderasi beragama adalah kacamata kebangsaan yang membuat kita memahami bahwa Indonesia berdiri di atas perjuangan semua elemen bangsa — bukan hanya umat Islam, tetapi juga umat beragama lain.
Karena itu, toleransi menjadi keharusan moral, sebab kita hidup berdampingan dalam satu tanah air yang sama. Ia juga menekankan bahwa tidak ada satu pun ajaran agama yang membenarkan kekerasan, dan bahwa budaya lokal seperti Tolotang dan Kajang pun harus dihargai dalam bingkai NKRI.
Nilai Luhur yang Tertinggal
Melalui pemahaman terhadap butir-butir Pancasila — Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial — Dr. Muhammad menegaskan bahwa semua nilai itu sejatinya juga adalah nilai moderasi beragama.
“Tugas kita bukan sekadar memahami, tapi meneladani,” pesannya kepada para ASN. Ia berharap agar program moderasi beragama tidak dipandang sebelah mata, melainkan dijadikan gerakan bersama di tengah masyarakat.
Kini, ketika masa baktinya di Kementerian Agama Kabupaten Maros berakhir, jejak pengabdian Dr. Muhammad tidak hilang. Ia meninggalkan warisan nilai, bukan hanya jabatan.
“Seorang pemimpin mungkin pergi dari tempat tugasnya, tetapi nilai dan keteladanannya akan tetap tinggal dalam hati kami,” tulis seorang pegawai Kemenag Maros dalam pesan perpisahan.
Penulis: Syamsir Nadjamuddin
(Penghulu KUA Kecamatan Lau, Maros)